Senin, 18 Februari 2008

Cinta Monyet...???

Aku tertarik dengan dialog scenario oleh Tora Sudiro dalam film D’Bijis : “Cinta Monyet…??? Monyet kok disalahin, cinta… cinta aja…!!!”

Sebuah kalimat yang cukup menggelikan jika kita simak sepintas, tetapi mempunyai makna sangat dalam jika disinkronkan dengan realitas yang terjadi pada Putra – Putri penerus bangsa ini.

Remaja kita terlalu cepat diperkenalkan dengan dunia yang bahkan orang dewasapun masih sangat sulit memahaminya, dunia yang dengan bangga kita namakan “CINTA”. Sehingga remaja kita terjebak didalamnya dan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk keluar dari sana, ditambah lagi dengan istilah “Cinta Monyet” yang seakan makin memberikan legalitas kebebasan pada para remaja untuk mengenal, merasakan, dan bahkan hancur karena cinta.

Realitas yang terjadi adalah banyaknya remaja yang kehilangan “Kehormatannya” ataupun menghilangkan kehormatan remaja lain yang oleh istilah cinta monyet disebut “Pacar”. Ironisnya, itu sah dalam cinta monyet.

Dengan fakta itu, kita tidak perlu heran kalau penyebaran HIV/Aids tidak terbendung, berapa banyak remaja putus sekolah karena hamil diluar nikah, berapa banyak uang yang beredar di Negara ini lenyap percuma untuk membiayai pendidikan tanpa ada hasil yang bisa diharapkan untuk masa depan bangsa, dan masih banyak hal negative lainnya yang dihasilkan oleh istilah cinta monyet ini.

Lantas…??? Siapa yang harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan cinta yang diberikan oleh Sang Pencipta ini?

Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah dalam hal ini, karena mereka terlalu sibuk menghamburkan uang rakyat, kita juga tidak bisa mengkambing – hitamkan media dengan suguhan – suguhan cinta khas remaja, kita juga tidak mungkin melimpahkan dosa ini kepada lingkungan yang notabene mempunyai andil dalam pembentukan karakter suatu populasi, kita juga tidak berhak menyalahkanku karena baru kali ini mengangkat wacana ini, atau anda yang baru memahami alur pemikiran dari tulisan ini.

Dan dengan permohonan maaf yang sebesar – besarnya, juga bukan bermaksud menggurui, kita harus menjustifikasi dan melemparkan kebobrokan ini kepada keluarga sebagai lahan pembentukan fondasi dasar moral para penerus bangsa, remaja yang menjadi bagian dari sebuah keluarga. Orang tua sebagai “Penguasa” dalam sebuah keluarga harus lebih bisa menanamkan nilai – nilai luhur moral dan pembinaan akhlak serta mengarahkan anak – anaknya kekoridor yang memang seharusnya, bukan malah melimpahkan pendidikan kepada guru disekolah yang hanya kurang lebih 8 jam menunaikan tugas mulianya, juga tidak seharusnya menyerahkan sepenuhnya pembinaan akhlak kepada Ustadz sebagai Pembina agama, karena orang tua yang mempunyai kedekatan psikologis dan waktu yang lebih banyak untuk mendampingi anak – anaknya dalam sebuah keluarga.

Negara ini akan sangat mengharapkan para keluarga untuk menjadi pahlawan dalam hal menghasilkan penerus bangsa yang siap menerima warisan tongkat estafet kelangsungan Negara. Sebab siapa lagi yang akan menggantikan para kaum tua memimpin negeri ini jika para kaum muda telah lebih dulu hancur hanya karena cinta. Terlalu tidak rasional jika hanya karena cinta, orang banyak yang menjadi tumbal.

Yang perlu disadari adalah, cinta “Bukanlah Anugrah” yang diberikan kepada setiap insan, tetapi cinta adalah “Amanah” yang akan diminta pertanggungjawabanya oleh Sang Pemilik cinta.